Kamis, 09 Februari 2012

BAB I


Aku duduk dengan rasa yang semakin lama semakin tidak nyaman.  Badanku tegak dan semakin tegang, dengan kedua kaki sangat rapat.  Kalau saja bukan karena rok pendek yang kukenakan, aku pasti telah menumpangkan salah satu kakiku ke lutut yang lain. Badanku pasti sudah terpental-pental jika tidak ada orang di kanan kiri yang memepetku.  Semua orang di angkot ini duduk saling menjepit pada penumpang lain.  Banyak di antara penumpang yang berteriak-teriak karena sopir yang terus ngebut.  Namun yang paling heboh adalah penumpang di depanku yang latah.  Sepertinya sopir angkot ini sedang mengeluarkan obsesi terpendamnya sebagai pembalap.  Kami hampir saja nyerempet truk bertulisan norak ‘Kutunggu Jandamu, Oh  Tulkiyem’.  Saat angkot berhenti sejenak, rasa lega melingkupi wajah-wajah penumpang di angkot ini.  Kesempatan inipun segera dimanfaatkan oleh seorang ibu untuk ngomel-ngomel pada si Sopir.
            “Hei Bang, ati-ati dong bawa angkotnya! Kalo ampe nabrak pegimane?!”  katanya berteriak-teriak marah, yang diikuti teriakan mengiyakan dari penumpang lain.
            Tanpa membalikkan badan, si Sopir pun menjawab enteng, “Empok tenang aje.  Aye kan udah pengalaman.”  Mendengar kata pengalaman ini, paling tidak sedikit menenangkan detak jantungku yang tidak karuan.  Mungkin pas masih muda dia pengalaman ikutan off road.
            “Aye udah pernah tiga kali nabrak.  Sekali nabrak bis, sekali nyerempet mobil, terakhir nabrak truk.  Tapi kagak ape-ape, cuma pada lecet-lecet dikit.  Mpok tenang aje,” katanya dan dilanjutkan dengan tawa.  Sekejap kemudian, angkot pun kembali ngebut.  Sialan!  Kirain maksudnya pengalaman pernah jadi pembalap atau apa . Ternyata maksudnya pengalaman dalam bidang tabrak menabrak.
            Dalam sekejap situasi di dalam angkot menjadi horor.  Setiap orang sibuk berdoa untuk keselamatannya masing-masing.  Masalah kebut-kebutan ini bagiku memang sedikit ngeri, tapi ada untungnya juga.  Tidak lama setelah angkot melaju, aku diserang rasa kebelet yang makin tidak tertahankan.  Kombinasi kebelet pipis dan ketakutan ini menjadi sebuah kolaborasi yang sensasional.  Mungkin perjalanan kali ini bisa menjadi salah satu perjalanan yang tak terlupakan dalam hidup.  Tapi biar bagaimanapun juga, aku harus cepat sampai ke tempat temanku, Dinda.  Begitu sampai di sana, aku bisa langsung berlari ke toiletnya.
            Saat rasa ini semakin tak tertanggungkan, aku pun sampai di tempat tujuan.  Dengan agak was-was aku turun dari angkot psikopat ini.  Aku pun turun perlahan sambil menahan biar tidak ngompol.  Selesai membayar, aku masih memandangi penumpang angkot yang tinggal segelintir saja.  Sebagian di antaranya nekat turun di jalan, meski belum sampai tujuan.  Bagaimanapun bagi mereka nyawa adalah segalanya.  Sisanya yang tertinggal di angkot mungkin sedang uji nyali, atau sama sepertiku yang kebelet pipis.
            Angkot pun melaju di dahapanku.  Sekilas aku dapat melihat ketegangan di wajah-wajah para penumpang.  Ekspresi mereka penuh makna.  Jika ekspresi itu diterjemahkan mungkin kurang lebih, “Oh, beruntungnya kau turun di tempat ini.  Jika sampai di rumah, tolong bacakan surat yasin tiga kali untuk keselamatan kami.”
            Begitu membalikkan badan, aku pun tersadar kalau cobaan masih berlanjut.  Kali ini aku berada di pertigaan jalan.  Rumah Dinda masih sekitar dua ratus meter lagi.  mataku berkeliaran, mencari-cari tukang ojek yang biasa mangkal di tempat ini.  Tapi dasar sial, dalam keadaan darurat seperti ini malah tidak ada satu ojek pun yang terlihat batang motornya.  Yang ada hanya seorang bapak yang membetulkan plang untuk bensin eceran di depan rumahnya.  Sesaat aku pun tersenyum membaca tulisan di plang itu, ‘Cintamu Tak Semurni Bensinku’.
            OK. Tidak ada jalan lain.  Meski bukan pelari ulung, tapi kalau cuma dua ratus meter, pasti aku bisa sampai kurang dari sepuluh menit.  Tanpa harus mengikuti prosedur  lomba lari – tahu kan, posisi dengan aba-aba bersedia, siap, ya! – aku langsung berlari kesetanan. 
            Hari ini aku dan temanku, Somad, berencana menginap di rumah Dinda.  Mumpung masih liburan.  Dua hari lagi kami harus kembali pada rutinitas sekolah yang melelahkan.  Aku, Dinda dan Somad merupakan teman sekelas yang cukup akrab.  Sebentar lagi kami naik ke kelas sebelas.  Kami tidak tahu apakah kami akan sekelas lagi atau tidak, karena kelas akan diacak.  Hari ini kami berencana merayakan hari terakhir kebersamaan kami di kelas sepuluh.  Somad yang berbeda jenis kelamin biasa diungsikan ke kamar adik Dinda yang cowok ketika tiba waktu tidur.
            Aku terus memacu kakiku untuk bermaraton.  Beberapa meter di hadapanku berkumpul beberapa cowok AbeGe yang sedang nongkrong.  Demi acara kali ini, aku sudah berdandan habis-habisan.  Kalau saja tidak diburu kebelet, mungkin aku bisa tebar pesona dulu pada cowok-cowok di hadapanku.  Tapi sekarang jelas bukan saatnya.  Tanpa mengurangi kecepatan lari, aku pun melambai-lambaikan tanganku sekuat tenaga sambil berteriak.
            “MINGGIIIIR!!!! MINGGIR WOI!!!”
            Salah satu cowok yang berdiri di tengah jalan pun segera minggir karena kaget.  Aku terus ngacir ditemani pelototan para cowok di belakangku.  Mau minta maaf sudah telat.  Tinggal satu perempatan lagi, dan aku segera tiba di rumah Dinda. 
            Kelelahan yang sempat menjalariku segera sirna, digantikan semangat yang berkobar.  Seperti pelari yang hampir  sampai di garis finish, aku pun memaksa kedua kakiku menambah kecepatan.  Perempatan sudah di depan mata.  Perasaan haru menyelimuti diriku.  Setelah perjuangan panjang dan melelahkan, akhirnya aku akan sampai di tempat sahabatku.  Dan yang terpenting, aku akan segera sampai di toilet.  Yah, toilet. Sebuah tempat yang selama ini kunistakan dan kucemooh, ternyata saat ini laksana surga bagiku.  Mungkin kejadian ini mengingatkanku agar jangan durhaka pada toilet, dan rajin membersihkannya.
            Saat pikiran teralihkan sekilas pada toilet, tiba-tiba saja seorang lelaki muncul dari belokan di kanan perempatan.  Dia berbelok menuju tikungan yang berada lurus di depanku.  Larinya agak sempoyongan karena menjaga keseimbangan tubuh saat berbelok.  Namun aku yang berlari lurus dengan kecepatan tinggi tidak dapat mengerem kedua kakiku.  Akhirnya tabrakan pun tidak terhindarkan.  Laki-laki yang tubuhnya masih belum seimbang karena berlari sambil ngepot, semakin sempoyongan tidak karuan.  Sedangkan aku jatuh terpental, tapi segera berdiri meski terseok.  Laki-laki itu terhuyung ke kiri, dan sebelah tangannya menggapai lenganku.  Aku pun ikut terhuyung karena harus menahan bobot tambahan.  Sayang kakinya terpeleset ke selokan di sebelahnya. Dia pun terjatuh diiringi sumpah serapah dari mulutnya. Sumpah serapahnya kian menjadi-jadi setelah aku ikut terjatuh menindihnya.  Salah sendiri waktu jatuh memegangi lenganku.
            Kedua tangan kami menggapai-gapai tidak karuan, seolah sedang berebut duit di udara.  Kami berdua sama-sama ingin cepat keluar dari selokan busuk dan kotor ini.  Saat aku hampir  bisa berdiri, dia memegangi bajuku dan aku pun kembali jatuh.  Lumut yang licin di selokan ini juga menjadi salah satu kunci sukses untuk terpeleset.  Begitupun ketika dia sudah hampir dalam posisi berdiri, aku berpegangan padanya.  Tangan kiriku memegangi lengan bajunya, dan tangan kananku berusaha menggapai tangannya, tapi tidak tergapai.  Hasilnya, tangan kananku malah berpegangan pada sebuah benda persegi di tangannya.  Benda itu terlepas dari pria yang tampak kalang kabut di hadapanku. 
              “Arrrggghhhh…., KAMPRET!” pria itu memaki.  Dia menjadi semakin kalap ketika tampak dua orang lelaki tua berlari menghampiri kami.
            “Dasar cewek sialan lu!” makinya lagi sambil mendorong badanku, dan membuatku terpelanting.  Setelah itu dia pun tergopoh-gopoh naik, dan kemudian berlari dengan langkah tersandung-sandung meninggalkanku.
            Tidak berapa lama kedua lelaki tua itu sampai di hadapanku.  Aku masih berusaha untuk berdiri.  Salah satu laki-laki itu mengulurkan tangannya, dan membantuku keluar dari selokan.
            “Makasih pak,” ujarku pada orang yang menolongku.  Sejenak aku terdiam seperti orang linglung.  Pikiranku masih mencerna kejadian yang baru saja kualami.  Kugunakan telapak tangan kiriku mengelap wajahku yang basah karena air selokan.  Sementara tangan yang lain menggantung ke depan.  Lalu seperti ada sesuatu yang ditarik dari tangan itu.
            “Waduh, neng.  Makasih pisan nya,” ucap lelaki yang tadi menolongku dengan logat sundanya.  Aku pun tersadar kalau sesuatu yang ditarik dari tanganku itu telah berpindah ke tangannya.  Sebuah dompet warna coklat.  Rupanya itu benda persegi yang terambil dari pria yang tercebur ke selokan bersamaku.
            “Terimakasih.. Berkat kamu, dompetku selamat.” Kali ini lelaki di sebelahnya yang lebih tua angkat bicara.  Dia melihat kearah kakiku dan  melanjutkan,“Wah, kamu sampai luka-luka karena menolong saya.”  Dari wajahnya yang oriental dan logat anehnya, kurasa dia orang Jepang.  Bahasa Indonesianya terlihat lancar, dan logat Jepangnya tidak terlalu kental.  Namun masih terasa janggal dalam pendengaranku.  Pengucapan huruf L nya kadang terdengar sebagai R.  Seperti ketika mengatakan luka-luka, terdengat seperti mengucapkan ruka-ruka. Kerut-kerut di wajah dan ubannya menunjukkan usia yang telah lanjut. 
            Aku hanya bisa nyengir, tidak mengerti apa yang harus kukatakan.  Kutundukkan kepalaku dan melihat lecet-lecet di tulang keringku.  Perih di kakiku baru terasa  setelah aku tahu ada lecet di tempat itu.  Dasar telat.
            “Kalau tidak keberatan, bagaimana kalau kamu ikut saya? Kita obati luka-lukamu di rumah saya.” Si Engkong Jepang menawarkan.  Orang itu selalu menggunakan Bahasa Indonesia sesuai EYD.
            “Kagak usah Kong.  Aye obatin  sendiri aje,” kataku. Wabah Betawi orang-orang di angkot tadi sepertinya menjangkitiku.
            “Jangan begitu.  Kamu kan luka karena menolong saya.  Saya hanya ingin membalas budi.  Ayolah, ikut saya.”  Dia terus memaksa sambil merangkul bahuku.  Sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakannya. Menolong apa? Balas budi apa? Tapi seperti ada kekuatan tersembunyi di balik mata tuanya yang ramah, entah bagaimana aku jadi mengikutinya. 
            Mobil orang ini diparkir di ujung gang.  Selama perjalanan menuju mobilnya, kedua lelaki ini bergantian menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami.  Mobil mereka bocor, sehingga mereka berhenti di ujung gang.  Si Engkong Jepang lama-kelamaan bosan menunggu ban diganti.  Dia pun memilih untuk berjalan-jalan. Ketika sedang berjalan-jalan itulah seseorang mencopet dompetnya.
            Entah bagaimana aku tidak bisa menolak niat baik orang itu dan sekarang aku pun telah berada di mobilnya.  Si Engkong terus saja merepet tentang kepahlawananku membasmi pencopet.  Dia bilang aku menonjok pencopet dan berantem dengannya dengan gagah berani.  Jujur saja dalam keadaan seperti ini, pasti aku tidak terlalu bisa mengingat apapun.  Biasanya sih kalau tegang atau nervous, mukaku bakal terlihat blo-on dengan mulut menganga, telapak tangan dingin, dan jadi bengong.  Jadi intinya setiap kali shock, aku tidak bisa melakukan apa-apa.  Kalau dipikir, boro-boro berantem.  Bergerak saja tidak kepikiran. Terus kenapa orang ini bilang aku beraksi seperti wonder woman dengan pencopet?
            Setelah kupikir-pikir kemungkinannya ada dua.  Pertama si Engkong jangan-jangan seorang penulis cerita silat.  Jadi semua itu hanya berada dalam khayalannya.  Kedua mungkin aku secara tidak sengaja benar-benar ‘berkelahi’ dengan pencopet itu.  Aku hanya ingat aku tercebur ke dalam selokan yang licin. Aku tidak punya waktu untuk bengong, karena selokannya bau dan membuatku cepat-cepat ingin sampai di atas.  Dan itu membuatku juga si Pencopet berebut untuk keluar dari selokan.  Mungkin ‘berkelahi’ itu maksudnya adalah rebutan naik ke atas selokan sambil kecebur gara-gara licin, sampai sikut-sikutan. 
Si Engkong dengan lelaki satunya – yang ternyata supir pribadinya – terus  bercerita sampai aku tidak mengerti lagi apa yang mereka bicarakan. Tapi yang jelas si Engkong dan supirnya yang bernama Kang Asep kompak sekali menceritakan aksiku.  Sampai-sampai mereka terus mencecarku untuk mengaku kalau beladiriku sudah sampai sabuk hitam.  Berkali-kali kujelaskan kalau aku tidak ingat telah menangkis serangan dan meninju si pencopet, seperti Lucy Liu dalam Charlies Angel.  Tapi percuma saja.  Dari pada capek akhirnya kuiyakan saja apa kata mereka. 
 Mobil melaju makin perlahan, hingga akhirnya berhenti di sebuah rumah dengan pagar semak tinggi.  Pintu gerbang di depannya terbuat dari kayu yang sama tingginya dengan pagar disekelilingnya.  Rumah di dalamnya sama sekali tidak terlihat.  Hanya saja jika pagarnya setinggi itu, dan gerbangnya minimalis namun terkesan mahal, pasti di dalamnya berisi rumah mewah.  Mungkin orang Jepang ini investor kaya raya di negeri ini.  Mobil BMW yang kami naiki saat ini merupakan salah satu indikator kekayaannya.
Otakku yang penuh dengan serial drama dan komik serial cantik langsung bekerja.  Langsung terbayang Engkong Jepang ini hidup sebatang kara di Indonesia.  Aku baru saja menolongnya, meskipun tidak sengaja.  Tapi bukankah cerita-cerita drama seperti itu memang penuh dengan ketidaksengajaan?  OK. Kemudian dia sangat berterimakasih padaku, dan merasa sangat berhutang budi.  Orang tua itu ternyata punya penyakit yang parah, dan diprediksi akan mati dalam tempo seminggu.  Karena terharu dengan kebaikanku dan ingin balas budi, akhirnya dia mewariskan seluruh harta kekayaannya padaku. Yeah, perfect.  Pasti begitu ceritanya.  Ya Tuhan, sebentar lagi aku akan jadi konglomerat mendadak!  Aku tidak percaya ini.  Aku harus segera menyiapkan mental dan berpura-pura terkejut.  Aku pun membayangkan apa yang pertama akan kulakukan dengan kekayaanku.
“Neng ayo turun, sudah sampai,” Kata Kang Asep yang mukanya tahu-tahu berada di depanku.  Pintu mobil telah dibukanya, dan aku pun turun.
“Rumahnya antik ya neng?  Dari tadi senyam-senyum terus.  Pasti terpesona dengan arsitekturnya,” lanjut Kang Asep dengan nada bangga, seolah itu rumahnya sendiri.
 Aku seketika menunjukkan ekspresi terkejutku yang normal.  Ekspresi terkejut yang normal maksudnya terdiri dari mulut melongo, muka kelihatan bego, dan otak tinggal separo.  Rumah di depanku benar-benar di luar bayanganku.  Kupikir aku akan menemukan rumah mewah seperti yang di sinetron-sinetron.  Ternyata salah besar.  Sebuah rumah tradisional Jepang berdiri anggun di sana.  Seperti rumah-rumah yang sering kulihat di lukisan Jepang. Lumayan besar dan dikelilingi pepohonan, bunga, dan semak-semak.
Perlahan kami berjalan menuju rumah.  Rasanya seperti mau memasuki lukisan saja.  Kakiku melangkah di jalan setapak yang tersusun dari bebatuan besar.  Di halaman rumah terdapat pot-pot yang ditanami bonsai.  Semuanya ditata rapi di atas papan kayu bertingkat.  Seperti bonsai milik kakek tetangga dalam serial doraemon.  Tapi dalam serial kartun itu biasanya bonsai-bonsai itu rusak karena ulah Giant CS.  Di samping depan rumah berdiri sebuah rumah kayu mungil.  Rumah itu terbuat dari kayu gelondongan yang masih utuh dan disusun saling menumpuk.  Ukuran rumah itu seperti rumah mainan.  Mungkin hanya sekitar tiga kali tiga meter.
“Pak Hatori, barusan Pak Sunandar kemari,” ujar seorang wanita setengah baya sambil mendekati kami.  Ia membawa sapu lidi. Sebuah tongkat panjang mencuat di tengah sapu lidinya sebagai tangkai pegangan.
“Ada apa?” Tanya si Engkong yang ternyata bernama Hatori.  Benar-benar mengingatkanku pada nama seorang ninja di serial kartun Jepang.  Aku jadi curiga jangan-jangan orang ini punya seekor anjing bernama Sishimaru.
“Tidak tahu, tapi nanti malam katanya dia akan datang  lagi kemari,” jawab wanita yang berpakaian sederhana itu.  Setelah itu iapun melanjutkan pekerjaannya menyapu halaman dari dedaunan kering.
“Jadi Kakek namanya Hatori?” celetukku.
“Kakek?  Padahal aku senang ada yang mau memanggilku Engkong,” ujarnya sambil cemberut.
Aku hanya bisa menggaruk kepala mendengarnya.  Tadinya setelah kupikir-pikir dia sama sekali tidak cocok dipanggil Engkong.  Tapi dia terlihat lebih senang dipanggil dengan panggilan ala betawi itu.  Aku pun nyengir kuda menanggapinya. 
Lamat-lamat terdengar suara gonggongan anjing.  Dari suaranya sepertinya anjing mungil.  Semak di sebelah kiri rumah bergemerisik, dan keluarlah seekor anjing mungil.  Aku tidak mengerti masalah anjing, jadi tidak tahu jenis anjing apa itu.  Tapi mirip dengan Shiro, anjing milik Shin Chan.  Berwarna putih, mungil, dan bulunya terlihat lembut.  Sabuk leher berwarna merah melingkari lehernya.  Liontin perak berinisial S, dan sebuah lonceng mungil bersanding bersama di tengahnya.
“Sishimaru!” Seru Engkong pada anak anjing.  “Kamu kotor sekali,” lanjutnya sambil mendekap anak anjing itu di dadanya. 
Jadi ternyata dugaanku benar.  Engkong ini bernama Hatori, dan memiliki anjing bernama Sishimaru.  Apa saat ini aku sedang memasuki film ninja Hatori? 
“Kong.  Apa Engkong punya adik perempuan?” Tanyaku.
“Iya punya,” jawab Engkong santai.
“Namanya Shinjo bukan?” Kulanjutkan pertanyaanku menyelidik.  Memastikan kalau keluarga Engkong adalah keluarga ninja yang menginspirasi pembuatan kartun ninja Hatori.
“Bukan, namanya Sato.  Ada apa?”  Dahi Engkong berkerut curiga.
“Nggak papa.  Habis Engkong namanya Hatori, kayak nama ninja di film kartun.  Nama anjingnya juga sama kayak nama anjing di film itu.  Kali aja adiknya Engkong juga sama,” kataku sambil nyengir seinnocent mungkin.
Engkong pun tertawa lebar menanggapiku.  “Iya memang.  Cucuku juga berkata kalau namaku seperti nama ninja di film kartun.  Dia sengaja memberi  nama Sishimaru pada anjing ini agar matching katanya.  Ini hadiah ulang tahun darinya untukku.”
Karena terus mengobrol, tahu-tahu aku sudah berada di dalam.  Kami baru saja melewati ruangan khusus untuk melepas dan meletakkan sepatu ala Jepang.  Aku tidak tahu ruang apa namanya.  Aku juga tidak terlalu memperhatikannya, dan melewatinya begitu saja.  Yang jelas sekarang sepasang sandal rumah putih dan kegedean menempel di kakiku.
Engkong yang mengenakan jaket kulit hitam, perlahan melepaskannya dengan posisi memunggungiku.  Begitu jaket terlepas, muka kagetku yang culun muncul lagi.  Sosok orang tua lemah dan ramah yang kulihat mendadak berubah drastis.  Terlepasnya jaket yang dikenakannya seolah membuka penyamarannya.  Bukan, si Engkong ini bukan berubah jadi pangeran ganteng.  Saat ini dia hanya mengenakan kaos lekbong, memperlihatkan lengannya yang telanjang.  Di kedua lengannya terlihat jelas tato yang memenuhi sepanjang tangannnya.  Tengkuknya juga penuh tato sampai ke leher samping.  Aku yakin sekali gambar-gambar itu juga ada di punggungnya.  Tidak jelas tato apa yang terlukis di badan orang itu.  Ada yang tampak seperti naga, ukiran-ukiran yang menjulur, menjuntai, saling berpilin, dan berpadu dengan bunga.  
Bayangan tentang kaya mendadak dari warisan kakek yang sekarat telah lama terlupakan.  Saat ini tinggal membayang sosok kakek gaul yang sehat walafiat. 
“Kong, boleh tahu nggak tatonya gambar apaan?  Kayaknya keren.”
Engkong membalikkan badan dan tertawa renyah. “Ah, bukan apa-apa.  Ini hanya gambar ikan koi saja.”
“Ikan koi? Kirain gambar naga,” kataku sembari menggaruk kepala.
Engkong kembali tertawa, lalu melepas kaos lekbongnya.  Dia kemudian membalikkan badan untuk memperlihatkan punggungnya.  Ternyata benar.  Di punggungnya  tampak seekor ikan koi merah yang sedang berenang.  Di sekitarnya berbagai lukisan yang tampak abstrak menghias.  Aku baru tau kalau lukisan seekor ikan koi tetap bisa terlihat sangar.  Di punggung yang telah renta itu, si Koi tampak memiliki kekuatan, terlihat gagah dan berkuasa.
“Kong.  Kalau orang bikin tato kan biasanya gambar naga, monster atau apa gitu.  Kok Engkong pilihnya gambar ikan koi?”
“Ikan koi itu senang berenang melawan arus.  Makannya saya suka.”
Mendengar pernyataannya aku jadi teringat festival koinobori.  Festival untuk anak laki-laki di Jepang ini menggunakan ikan koi sebagai simbolnya. 
Wanita paruh baya yang tadi menyapu halaman menghampiriku.  Dia mempersilakan aku mengikutinya.  Aku pun berjalan di belakangnya.  Kami berdua memasuki sebuah ruangan mungil. 
 “Tante, Kong Hatori sangar juga ya?”
“Sangar gimana Neng?”
“Iya, lihat aja tato di punggungnya.  Keren, kayak yang di film-film yakuza.”
“Ya iya lah.  Pak Hatori kan emang mantan bos yakuza.”
“Hahaha…Tante bisa aja becandanya.”
“Tante nggak becanda.  Di kamar Pak Hatori juga masih ada foto-foto waktu dia masih jadi bos yakuza.  Kebanyakan foto sama anak buahnya Neng.”
Aku memandang mata wanita di depanku, menyelidiki kebenaran kata-katanya.  Tadinya aku berharap akan menemukan tanda-tanda kebohongan, tapi ternyata tidak. 
 “Kenapa Neng? Neng jadi takut ya? Tenang aja, itu kan dulu.  Jaman dia masih muda.  Sekarang mah dia udah tobat, udah jadi orang baik.” Wanita itu pun mengacak-acak rambutku dan pergi. 
            Dia bilang apa tadi?  Sudah bukan bos yakuza lagi.  Itu berarti si Engkong Nipon itu pernah menjadi seorang bos yakuza.  Pensiunan yakuza.  Kepalaku berdenyut, berputar.  Hari ini rasanya terlalu banyak kejadian aneh yang menimpaku.  Mulai dari angkot psikopat, nyemplung selokan bareng pencopet dan tidak sengaja menyelamatkan dompet seorang kakek.  Setelah itu mengikuti si Kakek yang kupikir konglomerat, dan sekarang berakhir dengan berada di kandang pensiunan yakuza.
Aku menghela nafas panjang dan memejamkan mata.  Semua kejadian besar ini terlalu mendadak dan bertubi-tubi.  Bagiku ini hanya mungkin terjadi di alam mimpi.  Bukannya aku takut karena berada di sarang mantan yakuza.  Sebaliknya, aku malah merasa antusias.  Menurutku ini keren.  Seperti di film saja.   Kembali helaan nafas panjang dan keras keluar dari mulutku.  Mataku berkeliling menjelajahi ruangan.
Ruangan ini seperti kamar yang sering kulihat dalam film-film Jepang.  Lantainya dilapisi tatami.  Hanya ada rak-rak berisi buku menempel di salah satu dindingnya.  Selain itu ruangan ini terkesan kosong.  Pintu geser bermotif sama dengan semua dinding ruangan.  Kotak-kotak putih biru, seperti kamar milik nobita dan doraemon.  Terbawa oleh penasaran, aku berjalan menuju dinding.  Setahuku rumah tradisional Jepang dindingnya terbuat dari kertas.  Telunjukku mengetuk ringan dinding di depanku.  Ternyata tripleks, bukan kertas.  Salah satu dinding pada kamar model seperti ini juga biasanya berfungsi sebagai lemari, yang biasa disebut oshi ire.  Agak deg-degan kucoba menggeser dindingnya.  Dasar kampungan.  Benar saja, di dalamnya seperti lemari besar dengan dua rak.  Isinya peralatan tidur seperti selimut, bantal, dan futon.
Setelah puas mengamati ruangan ini, baru kuingat untuk apa aku berada di ruangan ini.  Aku pun segera menuju ke kamar mandi di sebelah kanan ruangan.  Bisa-bisanya aku melupakan badanku yang bau selokan dan lecet-lecet di kakiku.
Tidak sampai setengah jam aku sudah rapi dan keluar ruangan.  Untunglah aku membawa baju ganti.  Tadinya ini akan kugunakan untuk berganti saat menginap di rumah Dinda.  Wanita yang tadi mengantarku juga menawarkan pakaian, tapi kutolak dengan halus.  Tubuh kami berdua mungkin tidak berbeda jauh.  Dia lebih tinggi dan kecil dari badanku.  Tapi kan model bajunya ibu-ibu banget.  Lecet-lecet di kakiku juga telah diobati.
Kubiarkan kakiku melangkah sesuai keinginannya.  Kang Asep yang melihatku segera mengantarku ke ruangan lain.  Di sana Engkong pensiunan yakuza itu telah menungguku.  Aku tersenyum agak gugup, menanti apa yang akan terjadi.  Ya Tuhan, aku berhadapan dengan mantan yakuza. 
Ruangan ini mungil.  Beberapa deretan rak menempel di dindingnya.  Dia atasnya terpajang clay aneka bentuk yang mungil dan imut.  Mataku tidak bisa berkedip ketika memandangi salah satu clay berbentuk gadis Jepang.  Boneka Jepang itu mungil, dan mengenakan kimono merah.  Rambutnya panjang dan berponi.  Blush on merah membulat di kedua pipinya, membuat penampilannya sangat imut dan menggemaskan.  Di sebelahnya clay berbentuk istana seperti di cerita Barbie, dengan warna-warna pink, ungu, pastel.  
Di seberang ruangan, kakek Hatori memunggungiku.  Perlahan aku mendekatinya, dan mataku tidak dapat berkedip melihat apa yang tengah dilakukannya.  Dia sedang mencampur bahan-bahan pembuat clay.  Kucomot sedikit salah satu bahan mentah dalam plastik.
 “Tepung beras?” Sebuah pertanyaan terlontar lebih kepada diriku sendiri.
“Iya, dan ini tepung terigu.”  Si Engkong menyahut sambil menoleh selintas.
“Semua clay ini dari tepung?” Si Engkong menanggapinya dengan senyuman penuh arti. 
“Semuanya Engkong yang bikin?” Engkong kembali memunculkan senyumnya diiringi anggukan ringan.
Mataku berbinar mendengarnya.  Sebuah keputusan besar akhirnya kubuat begitu saja tanpa berpikir panjang.
“Engkong, ajarin aku bikin clay.  Aku mau jadi muridnya Engkong!” 
           

GEBETANKU PERSIS BINTANG K-POP

                                                                             PROLOG


Begitu mereka pergi, suasana senyap seketika.  Tatapanku dan Medusa saling bertumbukan selama sedetik.  Kami pun sama-sama memalingkan muka.  Aku pun menarik nafas panjang.
            “Jadi?”  Satu kata dariku untuk sebuah pertanyaan yang aku tahu Medusa mengerti.
            “Apa?”  Medusa pura-pura tidak tahu.
            “Apanya yang PDKT?”  Aku mencecarnya.
            “Aku emang lagi PDKT ke kamu.  Aku nggak perlu minta ijin, atau menempelnya di papan pengumuman biar semua orang tahu kan?” Tatapan Medusa langsung menembusku.  Aku yang menyerang Medusa dengan pertanyaan itu malah mati kutu sendiri.
            “Jadi?” Kali ini gantian Medusa yang menanyakan ini.
            “Apa?” Aku pun menirukan jawaban Medusa sebelumnya.
            “Apa mulai sekarang aku udah bisa ngegantiin posisi Yuki?”
            “Maksudnya?”
            “Aku ingin menggantikan dia jadi tempat bersandar buat kamu Kin.”
            Aku tidak ingin mempercayai pendengaranku.  Tapi raut Medusa yang serius memaksaku untuk percaya. 
            “Kenapa?  Kamu kan nggak kenal aku.  Kita bahkan baru kali ini bener-bener ngobrol.”
            Medusa terdiam.  Sejurus kemudian, dia mengeluarkan ponselnya.  “Kamu inget ini nggak?”

Kamis, 02 Februari 2012

Tetep Bangga Biarpun Oops!!!

   Waktu lagi main fb, teman saya Mb Indri ngasih link ke kampung fiksi dan ngajakin ikut J50K.  Setelah berkunjung dan lihat-lihat kampung fiksi, sayapun langsung ikut.  Padahal waktu itu sudah tanggal 29, jadi tinggal 2 hari lagi.  Blog lama juga entah kemana, akhirnya musti bikin blog baru.  Itupun masih ditambah belum tahu mau bikin cerita apa.
Setelah melalui pertimbangan ini itu, akhirnya aku putuskan merealisasikan cerita yang sudah mengendap di kepalaku dalam waktu lama.  Sebenarnya dari dulu saya bercita-cita untuk menjadi penerus Pak Ahmad Tohari.  Pengennya bikin cerita soal budaya Banyumas gitu.  Dulu sempat bingung apa yang mau diceritakan.  Tapi setelah melihat diri sendiri, ide itupun timbul.  Ibu saya sendiri seorang perias pengantin, dan sehari-hari saya sering membantunya merias.  Bukahkan pengantin tradisional juga berkaitan dengan budaya?  Dari sana timbullah niat menuliskan sebuah cerita yang berkaitan dengan dunia rias pengantin.  Tapi baru sebatas niat.
Sayangnya meski dari dulu pingin bikin cerita tentang dunia pengantin adat jawa, tapi toh tulisan itu belum juga direalisasikan sampai waktu yang bikin berkarat. Dengan alasan nulis cerita macam Pak Ahmad Tohari itu mayan susah dan butuh banyak latihan, saya pun mengampuni diri sendiri untuk memulainya lain waktu saja.  Sebagai permulaan sayapun memilih menuntaskan obsesi saya akan teenlit (obsesi masa SMA) dengan menulis novel berjudul norak "Gebetanku Persis Bintang K-Pop."  Penasaran dengan jarak 50 kilokata itu seberapa, saya sempat nengok novel saya.  Hasilnya, saya pun terperangah, terpana dan ternganga.  Ternyata novel yang saya tulis di sela-sela skripsi, dan menghabiskan waktu lebih dari setahun, hanya berjumlah 30 rubuan kata getohh.... Oh mai God, ini suruh nulis 50 rubu dalam sebulan. Btw Novel teenlit saya sudah mencapai  kesuksesan luar biasa dengan didepak penerbit gagas. Huahaha...

Gara-gara nulis teenlit, sayapun jadi rada kagok buat mulai menulis cerita sastra.  Dan di ajang J50K, akhirnya saya menekatkan diri untuk mencebur pada cerita yang telah tertimbun beberapa tahun belakangan  di pikiran saya.  Tanpa kerangka, tanpa babibu, saya pun langsung tancap gas.  Hasilnya cerita saya sering macet.  Malah pernah beberapa hari saya menganggurkan microssoft word dan memilih bermain di dramacrazy.net.  Pernah juga beberapa hari saya diary (baca: diare), masuk angin dll.

Satu hal yang pasti, salut banget sama teman-teman J50K yang w!n.  Saya sebagai golongan Oops angkat empat jempol deh buat kalian.  Tapi biarpun Oops, saya tetep bangga sudah menjadi bagian dari J50K.  Setidaknya saya jadi mulai mencoba merealisasikan ide cerita lama saya di sini.  Biarpun nyampe sekarang lom kelar. huhuhu...#nangis-nangis ngesot#