Minggu, 08 Januari 2012

Lapooorrr........

Aku tahu ini memalukan.  Sudah seminggu lebih dua hari, tapi aku belum sampai kemanapun.  Bayangkan, dari 50 ribu kata, aku baru dapat 2.219 kata. hiksss... Sengaja lama nggak buka pesbuk, malu sama teman-teman J50K.  Maaappp...

Senin, 02 Januari 2012

PENGASIH


Prolog
Retno Pengasih mengambil sebuah bungkusan plastik hitam, dan mengambil buntalan di dalamnya.  Buntalan besar berbungkus daun pisang dipandanginya dengan tatapan penuh arti.  Seolah di dalamnya berisikan perhiasan intan berlian yang amat mahal.  Dicabutnya tusuk di kedua ujung daun sehingga buntalanpun terbuka.
            Segera saja keharuman semerbak mengisi ruangan.  Gadis yang menguncir rambutnya menjadi ekor kuda itu menahan nafas.  Ia tidak ingin keharuman itu merasuki dirinya.  Tidak.  Bagi orang lain, mungkin keharuman itu begitu memikat.  Sebuah keharuman klasik yang akan membawa para penciumnya mengarungi dunia lain.  Keharuman yang mampu menembus dimensi lain.  Tapi bagi Asih, keharuman itu laksana racun yang akan melehkan paru-parunya.  Setelah beberapa saat menahan nafas, gadis itu pun menyerah dan terengah.
Diambilnya salah satu untain berwarna putih dari bungkusan yang terbuka.  Sesaat pandangan Asih mengabur, dan rasa pusing menghinggapi kepalanya.  Ada apa dengannya?  Biasanya benda-benda di hadapannya tidak berarti apa-apa.  Tidak pernah memiliki makna apapun bagi dirinya.  Tapi kenapa saat ini benda-benda itu menyesakkan dadanya? 
Ronce.  Begitu orang-orang menyebut rangkaian bunga melati di tangannya.  Bunga melati yang kecil dan putih bersih terjahit rapi satu sama lain.  Rangkaian bunga itu akan digunakannya untuk menghias rambut.  Tidak setiap orang dapat memakainya.  Ronce hanya dipakai oleh seorang pengantin.  Seorang pengantin Jawa belumlah bisa disebut pengantin jika ia belum mengenakan ronce di sanggulnya.
Saat ini untaian bunga di hadapannya berubah menjadi benda yang memancarkan kekuatan magis.  Ia bisa membuat pemakainya merasa di awang-awang.  Setiap kuncup putih seolah akan berubah menjadi bulu-bulu yang membentuk satu sayap.  Sayap yang hanya sebelah itu akan menuntun seorang pengantin menuju sayap yang lain.  Ketika keduanya bertemu, kedua pengantin pun dapat terbang dengan kedua sayapnya menuju dunia lain.  Dunia yang berbeda dengan dunia mereka sebelumnya.  Sayangnya tidak bagi Asih.  Setiap kuncup serasa terlalu tajam untuknya.  Jika disentuh sedikit saja, ia dapat merobek-robek Asih hingga terkoyak.     
Setiap rangkaian memiliki nama dan makna.  Ada rangkaian panjang tiba dada, lar-laran yang berbentuk silinder memanjang, dua buah rangkaian bangun tulak yang mungil.  Dan ada pula sebuah rangkaian pendek yang tengah diamatinya saat ini.  Sebuah rangkaian pendek yang indah.  Asih tidak pernah terpesona pada rangkaian melati itu sebelumnya.  Tidak pula saat ini.  Kalaupun saat ini seperti ada sesuatu yang berlarian di dadanya, itu sama sekali tidak diakibatkan karena keindahan rangkaian bunga.  Bukan keindahan untaian ataupun keharumannya yang membuat Asih bergetar. 
Dengan kekuatan yang dipaksakan, ia pun membawa untaian itu pada seorang gadis di hadapannya.  Sudah menjadi tugasnya untuk memasangkan benda itu di kepalanya.  Ia telah melakukannya ratusan kali.  Seharusnya hal itu mudah saja.  Ia tidak boleh menghindar.  Tidak bisa.  Itu kewajibannya.  Tangan Asih memucat, hampir menyamai warna bunga di tangannya.  Dengan sedikit gemetar, gadis belia itu mengambil jepit rambut untuk melekatkan rangkaian.  Ditempelkannya untaian melati di sisi kiri sanggul mempelai.  Asih memejamkan mata sejenak dan mengambil nafas perlahan.  Ia pun mulai menjepit ronce dan menusukkan penjepit ke sanggul.  Aneh.  Yang ia tusuk dengan penjepit adalah sanggul, tapi kenapa dadanya yang terasa sakit.  Semakin erat benda itu terpasang di sana, semakin sakit rasanya.
            Untaian melati yang baru saja disematkannya memiliki makna tersendiri bagi Asih.  Sebenarnya ia tidak pernah menghiraukannya sebelumnya.  Namun kali ini semua menjadi begitu bermakna.  Untaian itu memiliki keterkaitan erat dengan Asih.  Ia telah menjadi menjadi bagian dari diri Asih begitu lama.  Sekarang benda itu harus digantungkannya pada gadis di hadapannya.  Dan dia sendirilah yang meletakkannya di sana dengan kedua tangannya sendiri.  Sebuah untaian lambang cinta kasih.  Sebuah untaian yang membuat ibu Asih begitu terpesona, hingga ia mengambilnya sebagai nama putri semata wayangnya.  Pengasih.